Desa Baliaga Tenganan Pageringsingan sudah lama menjadi ikon pariwisata Karangasem, bagaikan magnet, Tenganan sudah menyedot jutaan wisatawan selama ini yang datang khusus karena terpesona dengan peradaban masyarakatnya yang menganut aliran Indra. Salah satu daya tarik desa Tenganan adalah digelarnya Aci Perang Pandan terkait pelaksanaan upacara Usabha Sambah di Pura Puseh setempat. Jro Mangku Widia dalam suatu kesempatan menyebut, tanggal 15 Juni 2011 adalah puncak digelarnya atraksi perang pandan yang merupakan simbol prajurit kesatria dewa Indra ketika bertempur melawan menundukkan keangkaramurkaan Maya Danawa, sekaligus menggambarkan mitos sebagai wujud rasa bakti pada leluhur yang ditandai luka tetesan darah ketika megeret pandan.
Megeret pandan adalah merupakan permainan perangperangan menggunakan perisai dari anyaman ate berbentuk bulat dan daun pandan berduri tajam yang dipegang dan dijadikan senjata untuk melukai lawan. Bagi krama Teruna setempat merupakan ritual wajib untuk megeret pandan sebagai simbol menunjukkan jiwa kesatria dan kejantanan sebagai pewaris dan penerus trah wangsa wong baliaga Tenganan Pageringsingan. Prosesi geret pandan sendiri digelar setelah dilakukan prosesi upacara di Pura Puseh yang berangkai dilakukan sebelum dan sesudah atraksi geret pandan digelar sebagai puncak upacara Usabha Sambah. Usabha Sambah sendiri adalah merupakan salah satu bentuk upacara rutin tahunan yang dilaksanakan setiap sasih kelima menurut versi perhitungan sasih di desa setempat.
Sejarah desa Tenganan Pegringsingan menurut V.E Korn, R. Goris W.Weck, yang meneliti budaya setempat, menyebut. ditemukan adanya suatu peninggalan yang menunjukkan kekunoan ditandai peninggalan zaman megalitikum di desa Tenganan Pageringsingan. Sementara Jero Mangku Widia mengatakan, bahwa prasasti yang ada di desa Tenganan Pagringsingan yang memuat asal-usul sejarah terjadinya desa tersebut sudah tidak ada, oleh karena pada tahun 1841 atau tahun 1763 (içaka) di desa tersebut mengalami musibah kebakaran. Namun demikian adanya beberapa duplikat yang mengatakan bahwa Desa Tenganan membawahi wilayah hingga Candidasa yang berada di pinggir laut sebelah selatan desa dan sebelah timur desa berbatasan dengan sebuah batu besar sebagai tonggak batas wilayah dengan Dusun Samuh ditimurnya.
Menurut uraian buku cerita Usana Bali penduduk desa Tenganan disebutkan merupakan keturunan penduduk Bali yang berasal dari Desa Peneges di sebuah Kerajaan Bali yang bernama Bedahulu, dengan rajanya Mayadenawa yang bertahta di Desa Bedahulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar. Dalam pemerintahannya Raja Mayadenawa terkenal sebagai seorang raja yang sakti. Namun dengan sifatnya yang angkara murka, sombong, dan tidak mengakui adanya Tuhan. Selama pemerintahannya kepada rakyat Bedahulu (Peneges) dilarang untuk melakukan persembahyangan (Ngaturang Aci) kepada para Dewata, sehingga selama masa pemerintahannya, masyarakat tidak diperkenankan melaksanakan upacara agama untuk menyembah Dewata. Adanya kenyataan ini, menyebabkan para Dewa marah diutuslah Betara Indra turun ke dunia guna memerangi Raja Mayadenawa. Dalam pertempuran tersebut Raja Mayadenawa mengalami kekalahan. Untuk menghormati jasa kemenangan Betara Indra ini, oleh Beliau memerintahkan kembali seluruh rakyat Bedahulu untuk aktif kembali melakukan upakara/upacara agama termasuk meliputi melakukan atraksi geret pandan.
Menurut sejarah, Yadnya yang dilakukan tersebut disebut Aswameda Yadnya dengan mengorbankan seekor kuda yang disebut Oncesrawa sebagai caru. Akan tetapi sebelum upacara tersebut berlangsung tiba-tiba Kuda Oncesrawa menghilang dari istana. Untuk mencari jejak kuda tersebut, kemudian diperintahkan oleh Betara Indra orang-orang dari Desa Peneges untuk mencari kuda tersebut. Dalam pencarian itu mereka membagi diri menjadi dua kelompok, yaitu kelompok pertama bertugas mencari ke arah barat laut dan kelompok ini tidak berhasil menemukannya, dan kini dikenal sebagai penduduk Kabupaten Buleleng, sedangkan kelompok yang lain bertugas mencari kebagian arah timur laut. Pada kelompok ini berhasil menemukan kuda itu di lereng bukit sebelah timur Desa Tenganan Pegringsingan sekarang, tetapi sudah dalam keadaan mati. Pada daerah tempat kuda itu ditemukan, kini dikenal dengan sebutan Batu Jaran.
Daya tarik lain dari desa Tenganan adalah kai geringsing yang memiliki mitos dibuat dengan darah manusia namun kini sudah diganti dengan getah kayu sunti yang hanya ada di nusa penida. Dalam proses pembuatannya adalah proses yang sangat rumit dengan teknik double ikat yang memakan waktu cukup lama serta dengan bahan-bahan dasar dan bahan pewarnaanya berasal dari alamiah. Kain gringsing juga banyak diperlukan orang lain, karena dapat digunakan untuk keperluan upacara adat dan agama, mode show dan sebagainya. Menurut pandangan orang Tenganan bahwa kain gringsing mengandung nilai magis. Hal ini dikatakan demikian karena kata gringsing berasal dari dua kata, yaitu gring yang berarti ‘sakit’ atau ‘penyakit’ dan sing yang berarti ‘tidak’ atau ‘menolak’. Dari kedua akar kata tersebut yaitu kata gering dan sing bila disatukan akan menajdi kata gringsing yang berarti ‘tidak sakit atau menolak penyakit’ yang dapat diperkirakan akan dapat terhindar dari segala penyakit.
0 komentar:
Posting Komentar