Kamis, 29 September 2011

Contoh Surat Perjanjian Sewa

Posted by Wayan Parwata 11.31, under | No comments

Sekedar sharing buat teman-teman, mungkin berguna..
Untuk memperkuat legalitas, hrs dibubuhi materai 6000 dan dibuat 2, satu untuk pemilik rumah dan satu lagi untuk penyewa

Surat Perjanjian Sewa / Kontrak Rumah
Dengan ini menerangkan bahwa telah diadakan perjanjian pengikatan kedua belah pihak mengenai sewa atau kontrak rumah diantara :
1. Nama : ……………
Pekerjaan : …………..
No. KTP : …………..
Alamat : …………..
Disebut PIHAK PERTAMA atau PEMILIK
2. Nama :
Pekerjaan :
No. KTP :
Alamat :
Disebut PIHAK KEDUA atau PENYEWA
Kami kedua belah pihak dengan ini telah mengadakan perjanjian dan mufakat untuk mengadakan kerjasama dalam hal Pihak Pertama menyewakan guna pakai sebuah unit rumah kepada pihak kedua sesuai dengan syarat-syarat dan ketentuan – ketentuan sebagai berikut :
PASAL 1 : DEFINISI
  1. Pihak Pertama dalam hal ini pemilik rumah, menyewakan guna pakai sebuah unit rumah kepada Pihak Kedua dalam kurun waktu dan jumlah nilai sewa yang telah ditentukan.
  2. Pihak Kedua dalam hal ini penyewa, menyewa sebuah unit rumah dari Pihak Pertama untuk di guna pakaikan dengan sebaik-baiknya.
  3. Sewa (menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia) ialah pemakaian sesuatu dalam jangka waktu tertentu dan harus membayar uang jasa; uang yang dibayarkan atas pemakaian sesuatu milik orang lain; yang boleh dipakai setelah dibayar terlebih dahulu.
PASAL 2 : OBJEK SEWA
  1. Objek sewa yang disewakan dari Pihak Pertama kepada Pihak Kedua ialah :
1 Buah Unit Rumah dengan data sebagai berikut
Luas Tanah : …………….
Luas Bangunan : ………….
Alamat : …………….. 
PASAL 3 : WAKTU SEWA
  1. Waktu penyewaan rumah selama 1 (satu) tahun terhitung dari tanggal dd/mm/yyyy sampai dengan tanggal dd/mm/yyyy
  2. Selama waktu tersebut Pihak Kedua berhak menempati rumah yang telah disewakan sesuai dengan Pasal 2.1
  3. Jika masa kontrak berakhir, Pihak Kedua berkewajiban untuk menyerahkan rumah sesuai dengan Pasal 2.1 tersebut tanpa syarat apapun kepada Pihak Pertama dalam keadaan baik, terpelihara dan kosong dari penghuninya.
  4. Untuk perpanjangan masa sewa, Pihak Kedua harus memberitahukan kepada Pihak Pertama satu bulan sebelum masa berlakunya habis dan akan dibuatkan perjanjian baru sebagai pengganti perjanjian ini.
  5. Apabila pada Pasal 3.4 diatas tidak ada konfirmasi, maka Pihak Kedua dianggap tidak memperpanjang lagi masa sewa.
  6. Untuk pemutusan kontrak sebelum masa kontrak berakhir, Pihak Kedua memberitahukan 1 bulan sebelumnya kontrakkan berakhir.
  7. Dalam pemutusan kontrak sebelum habis masa berlakunya dalam Pasal. 3.1 maka Pihak Pertama tidak mengembalikan sisa uang kontrakan, dan Pihak Kedua tidak menuntut Pihak Pertama.
PASAL 4 : NILAI SEWA
  1. Harga / Nilai sewa untuk periode tanggal dd/mm/yyyy sampai dengan tanggal dd/mm/yyyy ialah sebesar Rp…………..
  2. Pihak Kedua telah membayarkan lunas nilai sewa kepada Pihak Pertama sebesar Rp……………….. untuk masa sewa tanggal dd/mm/yyyy sampai tanggal dd/mm/yyyy
Pasal 5 : PENGGUNAAN
  1. Setelah serah terima kunci, Pihak Kedua berhak menempati rumah dan berkewajiban untuk memelihara bangunan sebaik-baiknya, segala kerusakan yang timbul selama perjanjian ini, menjadi kewajiban Pihak Kedua untuk perbaikannya, mengganti dengan biaya sepenuhnya tanggung jawab Pihak Kedua.
  2. Pihak Kedua tidak diperkenankan untuk mengadakan perubahan atau tambahan pada bangunan tersebut atau memindah sewakan kepada pihak lain, kecuali atas izin tertulis dari Pihak Pertama.
  3. Selama masa sewa berlaku, segala kewajiban yang harus dipenuhi terhadap rumah tersebut diatas, merupakan kewajiban Pihak Kedua, baik kewajiban membayar listrik, keamanan, kebersihan, air serta sejenisnya.
  4. Apabila kewajiban diatas yang dimaksud dalam Pasal 5.3 dilalaikan oleh Pihak Kedua, berakibat adanya sanksi atas fasilitas yang ada, maka Pihak Kedua harus menyelesaikan sampai tuntas seperti keadaan sebelum dikontrakkan paling lambat 30 hari sebelum kontrak berakhir.
  5. Khusus untuk pembayaran listrik, Pihak Kedua akan tetap membayar rekening listrik satu bulan terakhir dan rekening listrik akan diserahkan kepada Pihak Pertama setelah lunas dibayar sebagai arsip.
PASAL 6 : PENUTUP
  1. Demikianlah perjanjian sewa / kontrak rumah ini kami buat dengan sebenarnya tanpa paksaan dari siapapun
  2. Apabila terjadi sengketa atas isi dan pelaksanaan perjanjian ini, kedua belah pihak akan menyelesaikannya secara musyawarah.
  3. Apabila penyelesaian secara musyawarah tidak berhasil, maka kedua belah pihak sepakat untuk memilih domisili hukum.
Demikian Surat Perjanjian Sewa/Kontrak Rumah ini dibuat dalam rangkap 2 (dua) ditandatangani masing – masing pihak.

Denpasar,
Tanggal :
PIHAK PERTAMA                                                                                        PIHAK KEDUA


SAKSI-SAKSI

Kamis, 22 September 2011

Tradisi Perang Tipat Bantal ......Tradisi Unik Desa Adat Kapal, Badung

Posted by Wayan Parwata 10.09, under | No comments

Ratusan warga dari dua banjar di Desa Adat Kapal, Mengwi, Kabupaten Badung, Selasa terlibat dalam tradisi perang "tipat bantal" atau saling lempar ketupat di depan pura desa setempat.
Tradisi sebagai wujud pengharapan kesejahteraan bagi masyarakat di wilayah tersebut juga biasa disebut dengan "Aci Rah Pengangon" atau juga "Siat Tipat Bantal".
"Selain sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen, ritual ini adalah sebagai bentuk pengharapan supaya warga di desa adat ini selalu mendapat kesejahteraan," kata Nyoman Sukataya, Ketua Karang Taruna Desa Adat Kapal di sela-sela acara.

Pada ritual kali ini, kata dia, melibatkan warga dari dua banjar saja, yakni Banjar Celuk dan Uma.
Menurut Sukataya, makna dari kegiatan itu adalah bertemunya dua sumber kehidupan yang dipercaya membawa kesejahteraan yang dilambangkan pada ketupat dan bantal (penganan dari ketan dicampur kelapa dan dibungkus dengan daun kelapa).

Selain itu, acara ini juga untuk menjaga keseimbangan supaya berbagai bidang kehidupan yang menjadi mata pencaharian masyarakat setempat tetap berjalan dengan baik.Tradisi itu dilaksanakan setiap bulan keempat dalam penanggalan Bali (sasih kapat) sekitar bulan September hingga Oktober. Pelaksanaanya diwujudkan dalam bentuk perang-perangan menggunakan "tipat bantal".Tipat atau bermakna ketupat adalah olahan makanan dari beras yang dibungkus dalam anyaman janur atau daun kelapa yang masih muda berbentuk segi empat.Sedangkan bantal merupakan penganan yang terbuat dari beras ketan yang juga dibungkus dengan janur, namun berbentuk bulat lonjong.

Dua hal itu, kata dia, merupakan simbolisasi dari keberadaan energi pria "maskulin" dan wanita "feminin" dalam semesta ini. "Itu sesuai dengan konsep Hindu yang disebut Purusha dan Predhana," ujarnya.
Pertemuan kedua hal itu dipercaya warga mampu memberikan kehidupan kepada semua makhluk di bumi, yakni segala yang tumbuh dan berkembang baik dari tanah (tumbuh), bertelur maupun yang dilahirkan.
"Benturan tipat dan bantal saat berada di udara kemudian jatuh ke tanah adalah lambang kesuburan bagi warga kami," ujarnya.

Acara perang tipat bantal digelar pukul 16.00 Wita dan mendapat perhatian dari masyarakat Kecamatan Mengwi maupun dari sekitarnya, termasuk kalangan wisatawan asal Jepang yang datang menggunakan pakaian adat Bali.Perang tersebut berlangsung sekitar 15 menit yang berlangsung cukup meriah. Meski tampak para peserta acara itu sangat bernapsu untuk melemparkan makanan itu ke lawannya, namun setelah acara usai tidak tampak rasa saling mendendam akibat kena lemparan yang rasanya cukup menyakitkan.

Sumber : kompas.com

Jumat, 09 September 2011

Sekilas Cerita tentang Pura Luhur Rambut Siwi yang Berawal dari Sehelai Rambut

Posted by Wayan Parwata 12.51, under | 1 comment

Keberadaan Pura Luhur Rambut Siwi di Kabupaten Jembrana sudah sangat terkenal. Pada saat piodalan, umat dari berbagai penjuru memadati pura yang berlokasi di tepian laut ini. Berada sekitar 17 km arah timur kota Negara. Bagaimana sejarah pura ini?

ASAL mula Pura Rambut Siwi tertuang dalam Dwijendra Tatwa. Menurut Mangku Gede Pura Luhur Rambut Siwi Ida Bagus Kade Ordo, pura ini tidak terlepas dari kedatangan Danghyang Dwijendra. Mengutip Dwijendra Tatwa, ia menceritakan setelah beberapa lama di Gelgel, Danghyang Dwijendra ingin menikmati Bali. Beliau pun berangkat ke arah barat sampai di daerah Jembrana berbelok ke selatan dan berbalik lagi ke timur menyusuri pantai.

Saat menyusuri pantai tersebut, Beliau bertemu seorang tukang sapu di sebuah parahyangan. Tukang sapu tersebut sedang duduk di luar parahyangan. Ketika sang Pendeta lewat, dia pun menyapa sang Pendeta dan minta Pendeta tersebut jangan tergesa-gesa dan berhenti sebentar.
Tukang sapu itu mengatakan, parahyangan merupakan tempat yang angker dan keramat. Barang siapa yang lewat dan tidak menyembah akan diterkam harimau. Untuk itulah, dia minta sang Pendeta sembahyang di parahyangan sembari menghambat perjalanan sang Pendeta.
Danghyang Dwijendra pun menuruti keinginan si tukang sapu. Beliau lalu diantarkan masuk ke parahyangan.

Di depan sebuah bangunan pelinggih, Danghyang Dwijendra melakukan yoga, mengheningkan cipta menatap ujung hidung (Angghsana Cika) dan menunggalkan jiwatman-Nya kepada Ida Sang Hyang Widhi.
Ketika Beliau sedang asyik melakukan yoga, tiba-tiba gedong pelinggih tempat menyembah itu roboh. Peristiwa itu dilihat oleh tukang sapu. Dia lalu menangis dan mohon ampun kepada sang Pendeta. Tukang sapu itu merasa bersalah karena memaksa sang Pendeta menyembah di Parahyangan. Tukang sapu juga mohon dengan hormat disertai belas kasih sang Pandita agar parahyangan diperbaiki lagi. Tukang sapu ingin perahyangan dikembalikan seperti semula supaya ada yang mereka junjung dan sembah setiap hari.

Danghyang Dwijendra merasa kasihan juga karena melihat bangunan palinggih itu roboh ditambah lagi adanya tangisan tukang sapu. Beliau pun bersabda, akan memperbaiki bangunan itu dan membuatnya seperti sedia kala. Selanjutnya Danghyang Dwijendra melepaskan gelung hingga rambutnya terurai. Beliau mencabut sehelai rambutnya dan diberikan kepada tukang sapu. ''Danghyang Dwijendra berkata, rambut tersebut agar diletakkan di pelinggih yang ada di Parahyangan dan disiwi atau dijunjung atau disembahyangi agar semua mendapat selamat dan sejahtera. Tukang sapu menuruti apa yang disampaikan Danghyang Dwijendra dan dia juga menuruti semua nasihat Danghyang Dwijendra. Dari sinilah awal nama Pura Rambut Siwi,'' tutur Mangku Gede.
Karena hari sudah hampir malam, Danghyang Dwijendra pun berniat bermalam di Pura Rambut Siwi. Ternyata orang-orang yang datang makin banyak. Mereka datang untuk memohon nasihat agama dan mohon obat. Beliau lalu menasihatkan ajaran-ajaran agama, terutama mengenai bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi dan Batara-batari leluhurnya agar hidup sejahtera di dunia. Beliau juga mengingatkan agar setiap hari Rabu Umanis Perangbakat mengadakan pujawali di Pura Rambut Siwi untuk keselamatan desa.

Delapan Pura

Sampai saat ini pemedek yang tangkil ke Pura Rambut Siwi bukan hanya warga setempat saja. Banyak orang dari luar Jembrana datang ke pura untuk sembahyang dan mohon keselamatan serta kesejahteraan. Sekaa subak baik subak sawah maupun subak kering juga banyak yang melakukan persembahyangan di pura ini.

Di sekitar Pura Luhur Rambut Siwi terdapat tujuh pura atau delapan termasuk Pura Luhur. Bagi umat yang pedek tangkil diharapkan mengikuti urutan tersebut. Pertama, persembahyangan dilakukan di Pura Pesanggrahan yang letaknya di pinggir jalan Denpasar-Gilimanuk. Selanjutnya persembahyangan dilanjutkan ke Pura Taman yang berada di sebelah timur jalan masuk ke lokasi Pura Rambut Siwi.

Selesai di Pura Taman, pemedek menuju ke Pura Penataran. Lokasinya berada di timur Pura Luhur dan turun ke bawah. Selanjutnya persembahyangan dilanjutkan ke Pura Goa Tirta, Pura Melanting, Pura Gading Wani dan Pura Ratu Gede Dalem Ped. Setiap persembahyangan di Pura Ratu Gede Dalem Ped ini, pemedek mendapatkan gelang tridatu (hitam, merah, putih). Setelah itu, persembahyangan diakhiri di Pura Luhur Rambut Siwi.

Menurut Ida Ayu Putu Nuadnya, mangku istri di Pura Luhur Rambut Siwi, dari semua pura tersebut, Pura Penataran dan Pura Luhur merupakan pura inti, sedangkan yang lainnya merupakan pesanakan.

Di Pura Luhur terdapat 13 bangunan. Bangunan itu antara lain Padma, Pengayeng Gunung Agung, Meru Tiga linggih Ida Batara Sakti Wawu Rauh, Gedong, palinggih Ratu Nyoman Sakti, palinggih tumpang dua linggih Batari Dewa Ayu Ulun Danu, palinggih Rambut Sedana, Taksu, Pepelik, Piasan, Peselang, Bale Gong dan Gedong Pesimpenan Busana.

Karena secara geografis Pura Luhur Rambut Siwi berada di wilayah Yeh Embang, Mendoyo maka pekandel pura pun berasal dari tiga desa yang sekitar pura yakni Desa Yeh Embang Kangin, Yeh Embang dan Yeh Embang Kauh. Dari tiga desa ini terdapat delapan bendesa. Saat ini ketua pekandel dipegang Gusti Made Sedana, Bendesa Yeh Embang Kauh. Sementara itu, Pengempon pura berasal dari Kecamatan Mendoyo dan Pekutatan. Ketua pengempon dipegang Dewa Made Beratha.

Pada saat pujawali, selain Mangku Lingsir Istri Dayu Ketut Alit, Mangku Gede Ida Bagus Kade Ordo dan Mangku Istri Ida Ayu Putu Nuadnya, banyak pemangku yang ngayah di pura. Pembagian pemangku yang ngayah sudah diatur oleh bendesa masing-masing. Namun untuk sehari-harinya, Mangku Gede dan Mangku Istri yang berada di Pura Luhur. (wah)

Mohon Keselamatan di Perjalanan

JIKA melintasi jalan Denpasar-Gilimanuk di wilayah Yeh Embang, Mendoyo, banyak kendaraan yang berhenti di selatan jalan. Pengguna jalan yang beragama Hindu biasanya melakukan persembahyangan di tempat ini.

Bagi mereka yang sudah terbiasa, tempat ini disebut Pura Pesanggrahan Rambut Siwi. Jika menghadap ke selatan dari Pura Pesanggrahan ini, akan nampak Pura Luhur Rambut Siwi dengan background lautan membiru.

Begitu turun dari kendaraan, ada umat yang langsung masuk ke Pura Pesanggrahan dengan membawa canang sendiri atau membeli di sekitar Pura Pesanggrahan. Usai sembahyang, mereka mendapat percikan tirtha dari pemangku disertai doa semoga selamat dalam perjalanan. Bagi yang tidak membawa canang, mereka tinggal turun dari kendaraan. Pemangku pun dengan sigap akan melayani pemedek. Usai matirtha dan mendapat bija serta bunga, mereka mengaturan sesari. Tidak ada ketentuan berapa sesari yang diaturkan. Semua itu tergantung dari umat. Tak hanya umat saja yang didoakan supaya selamat dalam perjalanan. Kendaraan pun ikut diperciki tirtha dan dipasangi bunga serta bija.

Pada hari-hari biasa, ratusan lebih kendaraan mulai dari kendaraan pribadi hingga kendaraan umum berhenti untuk berdoa dan mohon keselamatan. Pada hari libur atau hari-hari piodalan, jumlah kendaraan akan meningkat. Rombongan yang matirtayatra ke tanah Jawa biasanya berhenti untuk sembahyang di Pura Pesanggrahan ini.

Demikian pula dengan rombongan yang plesir atau study tour ke Jawa.
''Kami tidak pernah memaksakan umat untuk berhenti dan sembahyang di Pura Pesanggrahan. Sembahyang itu tidak boleh dipaksakan,'' ujar Ida Ayu Putu Nuadnya, mangku istri di Pura Luhur Rambut Siwi. Sesari yang diperoleh dari pemedek, dipergunakan untuk biaya pujawali di Pura Luhur Rambut Siwi. (wah)

Source Bali Post

Senin, 05 September 2011

Upacara Mreteka Merana/ Ngaben TIKUS

Posted by Wayan Parwata 12.48, under | No comments

Apa yang anda bayangkan ketika mendengar kata “ngaben”? Bila anda  pernah  menyaksikan ngaben secara langsung, saya dapat menduga  dalam benak anda  akan muncul gambaran puluhan orang  mengusung bade (menara tempat mayat) dengan sorak sorai yang riuh diiringi gamelan baleganjur, dan upacara pembakaran mayat lengkap dengan berbagai pernak-pernik upacaranya. Memang, itulah gambaran umum tentang ngaben, yang fotonya juga dapat anda lihat dalam buku-buku pariwisata Bali.
Tetapi, apa yang muncul dalam benak anda bila mendengar “ngaben tikus”? Tentu anda sedikit bingung membayangkannya. Selama ini mungkin anda hanya mengenal upacara ngaben  manusia. Tidak pernah tikus diaben, layaknya manusia. Sekali lagi, mungkin, dalam anggapan anda, sangat aneh bila tikus yang dikenal sebagai binatang kotor  menjijikkan itu harus terangkat derajatnya karena mayat-mayatnya diaben oleh manusia.
Jasa apa yang telah dilakukan si tikus sehingga sampai mendapat perlakuan yang begitu istimewa dari manusia, yang sesungguhnya tidak sedikit punya pengalaman buruk dengan tikus. Para wanita yang merasa terganggu dengan tikus tentu akan menjerit kaget, tidak senang, tidak rela, merasa aneh karena binatang yang selama ini dibenci dan dimusuhinya harus diaben, sebuah perlakuan mulia setelah mati yang hanya pantas dilakukan untuk manusia saja.

Tetapi, itulah Bali, selalu saja ada ritual yang unik dan menarik yang belum dikenal secara luas. Ngaben Tikus adalah salah satu contohnya. Upacara Ngaben Tikus digelar ketika wabah tikus menyerang sawah-sawah petani. Pada saat tersebut perburuan tikus berlangsung seru dan dramatis. Tikus-tikus diburu dengan berbagai cara: mengasapi lubang persembunyiannya, mengejarnya ramai-ramai, membabat semak-semak, melempari dengan batu, menembaki dengan  ketapel.  Ratusan ekor tikus berhasil ditangkap hidup atau mati.

Layaknya ngaben  manusia, ngaben tikus pun melalui urutan-urutan upacara yang ketat. Setelah tikus berhasil ditangkap dan dibunuh, masing-masing ekor tikus itu dipotong untuk diupacarai. Sarana upacaranya pun sama dengan sarana upacara yang dipakai pada ngaben manusia.  Bade untuk ngaben tikus dibuat bertumpang tujuh. Dalam ngaben manusia, bade bertumpang tujuh biasa dipakai oleh orang yang berkasta tri wangsa (brahmana, ksatria, waisya). Tapi itulah kreatifitas para petani di Tabanan. Ngaben tidak digelar di kuburan, tetapi di pantai karena laut dianggap sebagai sumber hama yang menyerang tanaman petani. Setelah upacara pembakaran selesai dilanjutkan dengan upacara  nganyut (membuang abu) ke laut yang dipuput oleh Ida Pedanda (orang suci Hindu).

Nangluk Mrana
Ngaben tikus merupakan salah satu jenis upacara Nangluk Mrana yang digelar pada waktu-waktu tertentu oleh para petani di Bali. Ngaben tikus telah ada berabad-abad lalu ketika Bali masih mengalami jaman kerajaan. Pada saat itu raja beserta rakyatnya bersatu padu menggelar ngaben tikus yang bertujuan untuk mengusir dan membasmi hama tikus yang menyerang sawah petani.

Ngaben tikus adalah warisan kebudayaan agraris yang pernah ada di Bali, dan bertahan terus hingga sekarang. Kebudayan agraris di Bali bersumber pada alam pikiran mistis dimana animisme, dinamisme dan budaya Hindu bercampur baur melahirkan ritual-ritual,  kesenian, tata sosial, tata nilai, dan unsur-unsur budaya lainnya.  Ngaben tikus masih dapat disaksikan pada waktu-waktu tertentu di daerah-daerah yang kebudayaan agrarisnya masih kuat, seperti di Tabanan dan Badung.

Dalam buku Upacara Nangluk Mrana, Tjokorda Raka Krisnu menguraikan bahwa  Nangluk Mrana berasal dari kata bahasa Bali yang kemungkinan juga mendapat pengaruh bahasa sansekerta. “Nangluk”  berarti empangan, tanggul, pagar, atau penghalang; dan “mrana”  berarti hama atau bala penyakit. Mrana adalah istilah yang umum dipakai untuk menyebut jenis-jenis penyakit  yang merusak  tanaman. Bentuknya bisa berupa serangga, binatang maupun dalam bentuk gangguan keseimbangan kosmis yang berdampak merusak  tanaman. Jadi “nangluk mrana” berarti mencegah atau menghalangi hama (penyakit), atau ritual penolak bala.
“Upacara Nangluk Mrana merupakan upacara permohonan kepada Tuhan agar berkenan menangkal atau mengendalikan gangguan-gangguan yang dapat membawa kehancuran atau penyakit pada tanaman, hewan maupun manusia sehingga tidak  membahayakan lagi,” jelas Raka Krisnu dalam bukunya itu.

Dalam lontar “Perembon Indik Ngaben Tikus”  sekilas dijelaskan bila tikus telah menjadi hama  ganas yang menyerang sawah petani, maka sebaiknya dilakukan upacara seperti mengupacarai orang mati biasa. Dan upacara hendaknya dilakukan di tepi pantai dengan cara dibakar. Namun dalam lontar itu  tidak dijelaskan secara rinci jenis upakara atau bebanten maupun tata cara pelaksanaannya.
Pendeta (pemimpin upacara), pemerintah atau penguasa negara beserta dengan aparat bawahannya juga ikut bertanggung jawab terhadap hama yang menyerang sawah petani. Tata cara upacaranya seperti mengupacarai orang mati biasa dan hendaknya tempat upacara di tepi pantai dengan cara dibakar. Hal ini dijelaskan sekilas dalam lontar “Sila Gama Catur Pataka.”  Malah dalam lontar “Yama Tattwa” disebutkan bahwa waktu yang paling tepat untuk melaksanakan ngaben tikus adalah pada saat gugusan bintang di langit membentuk rasi tikus.

Hampir semua lontar yang sekilas menjelaskan ngaben tikus menyebut pantai (laut) sebagai tempat yang paling baik untuk menggelar upacara pengabenan tikus itu. Menurut kepercayaan orang Bali, segala penyakit dan hama bersumber dari laut selatan yang dikuasai oleh Dewa Laut, Sang Hyang Baruna. Dari laut selatan itulah segala hama penyakit disebarkan oleh Ratu Gde Mecaling (Penguasa Kegelapan) yang beristana di Nusa Penida. Bahkan Pura Masceti yang terletak di pinggir pantai di Gianyar dianggap sebagai pura yang menguasai tikus. Para petani  wajib datang ke Pura Masceti memohon agar terhindarkan dari wabah tikus yang menyerang tanaman padi mereka.

Waktu yang paling baik untuk menggelar upacara Nangluk Mrana adalah sasih keenam (Desember),  sasih kepitu (Januari), sasih keulu (Pebruari), sasih kesanga (Maret) yang menurut keyakinan orang Bali merupakan  bulan-bulan rawan yang penuh marabahaya. Menurut kepercayaan yang tumbuh subur di pesisir selatan Bali, pada bulan-bulan keramat itu, seperti yang telah disebutkan di atas,  Penguasa Nusa Penida, Ratu Gde Mecaling sedang gencar-gencarnya menyebarkan wabah dan penyakit ke Bali daratan. Dan pada bulan-bulan rawan itu biasanya berbagai jenis wabah penyakit merajalela. Untuk menetralkan kembali keseimbangan kosmis yang terganggu maka digelarlah berbagai jenis ritual penolak bala, salah satunya adalah ritual  Nangluk Mrana.

Namun sejak tahun 1980-an ngaben tikus mulai jarang digelar. Para investor mulai menanamkan modalnya di Bali. Lahan-lahan subur petani perlahan berubah menjadi lahan kering.  Subak, sistem pengairan di Bali, banyak yang mampet karena pembuatan jalan-jalan raya beraspal yang membelah persawahan. Para petani pun terpaksa menjual sawahnya yang susah mendapatkan air kepada investor. Lalu muncullah orang kaya baru di Bali. Dan yang tragis, kebudayaan agraris yang berpuluh-puluh abad dijaga dengan keindahan tradisi oleh para petani menjadi krisis dan terkikis. Anak-anak  petani tidak mau lagi pergi ke sawah untuk menggarap sawah warisan leluhur. Mereka lebih memilih bekerja di kantoran,  hotel, restauran, dan bisnis dengan keahlian yang tanggung.
Terkikisnya kebudayaan agraris berdampak pada ritual-ritual pendukung kebudayaan tersebut. Upacara untuk Dewi Sri sebagai simbol tanaman padi mulai jarang digelar. Tumpek bubuh yang jatuh setiap 210 hari sekali yang merupakan ungkapan rasa syukur para petani karena dianugrahi lahan yang subur beserta tanamannya juga jarang dilakukan. Dan ngaben tikus yang merupakan  upacara Nangluk Mrana untuk mengusir dan mencegah hama tikus juga  jarang digelar.

Mitos  Nangluk Mrana
Mitos memang tidak dapat dilepaskan dari alam pikiran mistis manusia Bali.  Ada beberapa mitos yang berkaitan dengan upacara Nangluk Mrana. Namun mitos yang paling populer yang berkembang pada masyarakat Bali yang  menganut kebudayaan agraris adalah kisah I Gudug Basur dan I Bawi Srenggi.
Dalam mitos tersebut dikisahkan bahwa I Gudug Basur dan I Bawi Srenggi bersahabat baik. Keduanya sama-sama sakti,  lahir dari Dewa yang dikutuk hidup di dunia karena suatu kesalahan. Suatu hari mereka mendengar kabar angin tentang kecantikan  Bhatari Sri. Kabar angin tersebut membangkitkan minat kedua sahabat itu untuk sama-sama ingin memiliki Bhatari Sri. Namun mereka belum pernah bertemu dan mengenal siapa Bhatari Sri. Dikisahkan Bhatari Sri telah mempunyai suami bernama Bhatara Rambut Sedana.
I Gudug Basur dan I Bawi Srenggi sepakat untuk perang tanding mengadu kesaktiannya. Siapa yang menang maka dialah yang berhak nantinya memiliki Bhatari Sri. Karena sama-sama sakti maka dalam  perang tanding itu tidak ada yang menang dan yang kalah. Kemudian mereka membuat kesepakatan baru untuk sama-sama mencari Bhatari Sri dengan arah perjalanan yang berbeda.

Dalam perjalanan dengan arah yang berbeda itu, I Gudug Basur berhasil menjumpai Bhatari Sri lebih awal dan segera ingin merebutnya dari Bhetara Rambut Sedana. I Gudug Basur menantang Bhatara Rambut Sedana perang tanding memperebutkan Bhatari Sri. Dalam perang tanding yang seru tersebut I Gudug Basur berhasil dibunuh dengan cara menenggelamkannya ke dasar laut. Namun sebelum mati I Gudug Basur  bersumpah bahwa ia belum puas sebelum berhasil bersatu dengan Bhatari Sri,  dia akan terus memburu Bhatari Sri. Maka setelah I Gudug Basur mati jasadnya berubah menjadi garam, ikan laut dan segala isi laut. Garam dan ikan laut suatu saat akan berhasil bertemu dengan Bhatari Sri yang merupakan simbol padi (nasi) dalam satu piring. Dari sinilah muncul kepercayaan orang Bali agar jangan sekali-kali membuang-buang nasi karena nasi adalah merta atau sumber kehidupan.

I Bawi Srenggi yang berjalan berlawanan arah dengan I Gudug Basur juga berhasil menemui  Bhatari Sri yang telah mengubah wujud menjadi tanaman padi untuk menipu pandangan musuhnya.  I Bawi Srenggi mengubah wujudnya menjadi babi dan merusak tanaman padi di sawah.  Babi jelmaan itu berhasil dibunuh dengan bambu runcing yang terbuat dari bambu kuning. Sebelum mati I Bawi Srenggi juga melontarkan sumpah bahwa dia belum merasa tenang sebelum berhasil bersatu dengan Bhatari Sri. Kemudian bagian-bagian tubuh I Bawi Srenggi berubah  menjadi berbagai jenis mrana atau hama, yang  selalu akan menggangu tanaman padi petani di sawah. Darahnya menjadi candang api (penyakit  tanaman padi  berupa ulat-ulat kecil yang menyebabkan pucuk-pucuk padi kering), nafasnya menjadi candang aus (sejenis hama yang menyerang tanaman padi), kukunya menjadi gehep (juga hama yang menyerang padi), ekornya menjadi tikus, bulunya menjadi balang sangit, kulitya menjadi kubal (ulat kecil yang menyebabkan daun  padi keputih-putihan), hidungnya menjadi balang sengkot (sejenis serangga hama padi), dan keringatnya menjadi garam.
Segala jenis hama yang lahir dari jasad I Bawi Srenggi ditanggulangi dengan menggelar upacara nangluk mrana. Dan tikus yang  lahir dari penjelmaan ekor I Bawi Srenggi mendapat perhatian khusus dalam kebudayaan agraris di Bali. Tikus menurut kepercayaan orang Bali adalah jenis hewan yang mempunyai sifat negatif sangat kuat karena sebagai hama dan pengganggu rumah terutama isi dapur dan barang-barang yang disukai tikus untuk dikerat. Karena mempunyai kekuatan negatif yang merusak, orang Bali lebih hati-hati memperlakukan tikus.

Menurut kepercayaan orang Bali, tikus yang menyerang tanaman padi di sawah atau isi lumbung di rumah tidak boleh dicaci maki dengan kasar. Semakin tikus dicaci maki semakin merajalela mereka.  Kalau kebetulan anda bertamu ke rumah orang Bali di pedesaan dan anda melihat tuan rumah  berbicara begini: “Jro Ketut pergilah kamu dari rumah ini. Jangan mengganggu lagi!” Anda jangan mengira tuan rumah sedang mengusir manusia. Si tuan rumah sedang meminta dengan sangat hormat pada si tikus pergi dari rumahnya agar jangan menggangu lagi. Tikus mendapat sebutan istimewa dari orang Bali, yaitu: Jro Ketut. Orang Bali meyakini kalau tikus diusir dengan cara halus seperti itu kemungkinan besar (kalau tikusnya tidak bebal)  akan dengan sukarela pergi dari rumah dan tidak mengganggu lagi.

Begitulah, setelah cara berpikir rasional tidak mampu menyelesaikan masalah yang menimpa manusia, maka cara berpikir irasional (mistis) pun kembali mendapat perhatian. Dan alam pikiran mistis pun ada benarnya. Terbukti setelah tikus tidak mempan dibasmi dengan bahan-bahan kimia atau racun tikus, maka ritual ngaben tikus kembali mendapat tempat di hati petani

Sabtu, 03 September 2011

OMED OMEDAN.... Tradisi Unik Desa Adat Sesetan

Posted by Wayan Parwata 12.38, under | No comments

Sehari setelah melaksanakan Tapa Brata Penyepian pada Hari Raya Nyepi yang dinamakan Ngembak Geni, disalah satu Desa Adat di Denpasar mempunyai tradisi unik yang ditakutkan akan hilang seiring dengan disahkannya Undang-undang Pornografi. walaupun ditolak dengan maraknya demo menentang Undang-undang ini. Knapa demikian karena tradisi yang cukup unik ini mempertontonkan adegan ciuman yang dilakukan oleh generasi muda Desa Adat Sesetan. Tradisi omed omedan ini merupakan tradisi leluhur yang sudah dilakukan sejak zaman penjajahan Belanda. Awalnya ritual ciuman massal itu dilakukan di Puri Oka. Puri Oka merupakan sebuah kerajaan kecil pada zaman penjajahan Belanda.

Ceritanya, pada suatu saat konon raja Puri Oka mengalami sakit keras. Sang raja sudah mencoba berobat ke berbagai tabib tapi tak kunjung sembuh. Pada Hari Raya Nyepi, masyarakat Puri Oka menggelar permainan omed omedan yang asal katanya dari med-medan (tarik-tarikan). Saking antusiasnya, suasana jadi gaduh akibat acara saling tarik para truna truni. Raja yang saat itu sedang sakit pun marah besar. Dengan berjalan terhuyung-huyung raja keluar dan melihat warganya yang sedang tarik-tarikan sampai berpelukan. Anehnya melihat adegan itu, tiba-tiba raja tak lagi merasakan sakitnya. Ajaibnya setelah itu raja kembali sehat seperti sediakala. Raja lalu mengeluarkan titah agar omed omedan harus dilaksanakan tiap Hari Raya Nyepi. Namun pemerintah Belanda yang waktu itu menjajah gerah dengan upacara itu. Belanda pun melarang ritual permainan muda mudi tersebut. Warga yang taat adat tidak menghiraukan larangan Belanda dan tetap menggelar omed omedan. Namun tiba-tiba ada 2 ekor babi besar berkelahi di tempat omed omedan biasa digelar. Akhirnya raja dan rakyat meminta petunjuk kepada leluhur. Setelah itu omed omedan dilaksanakan kembali tapi sehari setelah Hari Raya Nyepi. Pada zaman Belanda, omed omedan dilakukan dengan cara saling berangkulan. Namun seiring perkembangan zaman para peserta omed omedan lebih berani dan tak lagi saling rangkul tapi juga saling cium. Awalnya hanya cium pipi, tapi sejak 3 tahun lalu, ciuman telah berubah menjadi ciuman bibir. Tidak jarang usai omed omedan muda-mudi Banjar menemukan jodohnya langsung. Namun seiring perkembangan, terkadang biasanya yang berada diposisi terdepan antara barisan truna / laki-laki dan barisan truni/wanita sudah memiliki hubungan sebagai pacar.

Nyakan Diwang ( Masak di Luar Rumah).. .Tradisi Unik di Desa Banjar, Buleleng

Posted by Wayan Parwata 12.22, under | 1 comment

Ada sebuah tradisi turun-temurun yang diselenggarakan krama di Desa Banjar, Kecamatan Banjar,Kabupaten Buleleng, sehari setelah Nyepi. Tradisi itu diberi nama nyakan diwang alias masak di jalan. Seperti apa kisahnya?

Tradisi unik itu dinamakan nyakan diwang. Tradisi yang sudah berusia ratusan tahun itu berupa menanak nasi di luar rumah tepatnya di pinggir-pinggir jalan di Desa Banjar, Kecamatan Banjar, Buleleng. Ini sesungguhnya salah satu tradisi unik turun temurun yang ada di Bali. Hanya saja, upacara nyakan diwang ini kurang dikenal krama dari luar Kecamatan Banjar, karena belum pernah dipublikasikan media massa.

Menurut kisah leluhur, nyakan diwang itu merupakan rangkaian perayaan Hari Raya Nyepi. Digelar nyakan diwang itu sebagai bentuk pembersihan rumah terutama penyepian dapur setiap keluarga di Desa Banjar.

“Ini kepercayaan dan tradisi turun temurun yang  diyakini dan dipercaya bahwa dengan melaksanakan upacara nyakan diwang ini seluruh anggota keluarga dan masyarakat lainnya yang melaksanakannya akan terbebas dari leteh (kotor),”
Apa saja sarana upacara nyakan diwang itu? Ternyata amat sederhana. Yakni menanak nasi di luar rumah tepatnya di pinggir-pinggir jalan dengan menggunakan kayu bakar. Lalu yang dimasak itu nasi dengan bahan pokok beras.

Saat ada anggota keluarga yang menanak nasi, anggota keluarga yang lain membentangkan tikar dan duduk-duduk di atas bentangan tikar itu sambil menikmati kopi hitam di pagi buta itu.

Pelaksanaan nyakan diwang itu pun ada waktunya. Yakni tepat pukul 03.00 dinihari. Seluruh krama Desa Banjar tanpa komando secara serentak keluar rumah. Uniknya lagi, di sela-sela menanak nasi itu, ada juga tradisi saling mengunjungi tetangga untuk bersilahturami.

Pelaksanaan kunjungan silahturami itu dilakukan tepat pukul 04.00. Ya, intinya saling menyapa dan sekadar berbasa-basi menanyakan jenis masakannya yang dibuat tetangga.

Pelaksanaan nyakan diwang itu atas dasar kesadaran krama setempat. Tanpa ada ancaman sanksi atau hukuman adat dari desa setempat bagi yang tidak melaksanakan. Tetapi krama setempat merasa ada beban secara niskala bila tidak ikut melaksanakan upacara itu.

Sebuah apresiasi positif patut dialamatkan kepada krama Desa Banjar, Kecamatan Banjar Buleleng, karena mereka masih setia pada tradisi yang ditinggalkan leluhur

informasi : Lowongan Kerja Survei Online

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...