Selasa, 16 Agustus 2011

GEBUG ENDE, Tradisi Unik Turunkan Hujan

Posted by Wayan Parwata 16.03, under | No comments

Saat musim kemarau panjang dan penduduk Desa Seraya kerap menggelar gebug, atraksi ini tak cuma dilakukan antarpenduduk Seraya. Warga keturunan Sasak (Lombok) yang telah lama menetap di Seraya, juga kerap ikut nimbrung. Kegesitan pemain gebug asal Lombok (disebut batur, artinya teman asal Lombok) saat beradu dengan warga Seraya juga diakui keandalannya.

Di Seraya selain tarian gebug itu dijadikan perantara memohon hujan, juga kerap ditarian saat menyambut tamu. Tarian gebug juga kerap dipentaskan saat ada upacara perayaan, seperti 17 Agustusan. Bahkan, tiap penyelenggaraan PKB di Bali, tari gebug Seraya kerap tampil dalam parade di depan undangan, sebagai ciri khas kontingen Karangasem.

Kesenian gebug saat Bupati Karangasem masih dijabat AA Gede Karangasem, adu gebug juga kerap digelar pada pesta rakyat yang biasanya digelar di lapangan Candrabuana. Saat itu, adu gebug menjadi tontonan favorit masyarakat Karangasem. Biasanya, tim gebug Seraya beradu dengan gebug Timbrah. Cuma suatu ketika, terjadi persaingan sengit atau kurang sehat antara kedua belah pihak. Sempat terjadi salah paham antarkedua tim, sampai kemudian Bupati Karangasem turun tangan mendamaikan. Sejak itulah, diperkirakan adu gebug itu mulai dikurangi dengan menghadapkan dua tim berbeda desa. Bahkan belakangan, tak ada lagi pesta rakyat dalam rangka peringatan HUT RI dengan menampilkan kesenian atau hiburan rakyat berupa gebug ende.

Gebug ende tak cuma menjadi ciri khas Seraya. Gebug ini juga berkembang di Lombok.Kesenian itu bahkan sudah menjadi kesenian rakyat. Tiap ada hajatan, upacara adat semacam selamatan, kerap ditampilkan gebug sebagai hiburan rakyat. Karena itu, gebug pun berkembang dengan baik dan tak mengkhawatirkan bakal punah. Kesenian, tari atau pun olah raga rakyat itu bakal diperkirakan terus berkembang. Tak ada yang berani memastikan apakah gebug di Lombok itu dibawa orang Karangasem khususnya warga Seraya ke Lombok ataukah sebaliknya. Namun, diperkirakan gebug di Lombok berkembang karena dibawa warga Karangasem ke Lombok pada zaman dulu. Soalnya, berdasarkan sejarah, hubungan antara masyarakat Karangasem dan suku Sasak atau warga Lombok sejak dulu sangat erat. Hal itu terjalin sejak zaman kerajaan.

Menelusuri awal mulanya Gebug Ende tesebut memang cukup menarik. Dari turun temurun gebug ende merupakan suatu kebanggaan bagi masyarakat Seraya. Mengenai asal mula dari tarian tradisional khas Seraya ini yang diceritakan secara turun temurun. Awal mulanya kemunculan permainan gebug ende itu diperkirakan merupakan bentuk pelestarian dari latihan perang-perangan prajurit Kerajaan Karangasem zaman dulu. Sampai kini, atihan bertarung itu masih dijadikan semacam peringatan, sehingga tetap lestari.



Pada jaman dahulu latihan perang prajurit kerajaan sebenarnya menggunakan senjata tajam, seperti pedang, tombak atau keris. Kini dalam pertarungan saat memainkan gebug ende tersebut sebagai simbol senjata tajam menggunakan tongkat yang terbuat dari rotan sebagai pelengkap menggunakan tameng yang terbuat dari kulit.

Pada zaman kerajaan, masyarakat Desa Seraya merupakan salah satu kanti (prajurit andalan) kerajaan. Prajurit inti dikenal berasal dari Seraya, yang berjumlah 40 (bala petangdasa). Selain masyarakat Seraya dijadikan salah satu kanti Kerajaan Karangasem, juga dari Bugbug dan Angantelu. Orang Desa Seraya dikenal karena kebal sajam, Bugbug karena ahli pengobatan, sementara Angantelu karena sifat pemberaninya. Barangkali, masyarakat di ketiga desa tua itu zaman dulu diberikan anugerah dengan kelebihan untuk mengemban tugas masing-masing.

Pada saat sangkepan (rapat) desa diadakan tes pemilihan calon prajurit kerajaan . Saat itu warga lelaki dewasa dari rumah menuju tempat sangkep, masing-masing telah menjepit duri pandan di kedua ketiak, yang nantinya saat mendekati tempat sangkepan, petugas jaga akan menarik daun pandan yang ada pada ketiak peserta. Kalau daun pandan lepas ditarik dan tubuh penjepit tak luka ditusuk duri, berarti mereka lolos seleksi dan bisa ikut sangkepan. Dari sangkep itulah dites lagi untuk memilih 40 prajurit inti kerajaan. Adapun tempat melakukan tes kekebalan calon prajurit kerajaan dengan sebuah palinggih-nya, kini masih ada di Desa Seraya.

Dari cerita para leluhur dikatakan saat sangkepan, krama membelah buah pinang untuk makan sirih (macanangan, bahasa Bali) dengan pedang, belakas atau tah, bukan di atas bantalan kayu (talenan). Namun, langsung di atas paha. Pinangpun terbelah dengan salah satu senjata tajam itu, namun paha tidak luka karena senjata tajam itu.

Sajam yang digunakan untuk berperang pada zaman dulu pun harus melewati tes terlebih dahulu. Kalau ditancapkan ke bebatuan tak tumpul atau kalau ditusukkan ke gedek (dulu dinding rumah cuma terbuat dari gedek berbahan potongan bambu) dan segala binatang yang ada tengah berada di dinding gedek, seperti tikus, cecak atau kalajengking gedek itu mati, barulah sajam itu lolos seleksi untuk dibawa berperang.

Sampai kini beberapa keturunan prajurit 40 masih ada yang memiliki warisan kebal sajam secara turun-temurun. Namun, kalau warga Seraya menginginkan bantuan agar dilindungi dari goresan sajam saat menghadapi bahaya, juga bisa dengan mengikuti tata cara tertentu, seperti yang diwariskan leluhur.
Dikutip dari harian Bali Post edisi

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...