Apa yang anda bayangkan ketika mendengar kata “ngaben”? Bila anda pernah menyaksikan ngaben secara langsung, saya dapat menduga dalam benak anda akan muncul gambaran puluhan orang mengusung bade (menara tempat mayat) dengan sorak sorai yang riuh diiringi gamelan baleganjur, dan upacara pembakaran mayat lengkap dengan berbagai pernak-pernik upacaranya. Memang, itulah gambaran umum tentang ngaben, yang fotonya juga dapat anda lihat dalam buku-buku pariwisata Bali.
Tetapi, apa yang muncul dalam benak anda bila mendengar “ngaben tikus”? Tentu anda sedikit bingung membayangkannya. Selama ini mungkin anda hanya mengenal upacara ngaben manusia. Tidak pernah tikus diaben, layaknya manusia. Sekali lagi, mungkin, dalam anggapan anda, sangat aneh bila tikus yang dikenal sebagai binatang kotor menjijikkan itu harus terangkat derajatnya karena mayat-mayatnya diaben oleh manusia.
Jasa apa yang telah dilakukan si tikus sehingga sampai mendapat perlakuan yang begitu istimewa dari manusia, yang sesungguhnya tidak sedikit punya pengalaman buruk dengan tikus. Para wanita yang merasa terganggu dengan tikus tentu akan menjerit kaget, tidak senang, tidak rela, merasa aneh karena binatang yang selama ini dibenci dan dimusuhinya harus diaben, sebuah perlakuan mulia setelah mati yang hanya pantas dilakukan untuk manusia saja.
Tetapi, itulah Bali, selalu saja ada ritual yang unik dan menarik yang belum dikenal secara luas. Ngaben Tikus adalah salah satu contohnya. Upacara Ngaben Tikus digelar ketika wabah tikus menyerang sawah-sawah petani. Pada saat tersebut perburuan tikus berlangsung seru dan dramatis. Tikus-tikus diburu dengan berbagai cara: mengasapi lubang persembunyiannya, mengejarnya ramai-ramai, membabat semak-semak, melempari dengan batu, menembaki dengan ketapel. Ratusan ekor tikus berhasil ditangkap hidup atau mati.
Layaknya ngaben manusia, ngaben tikus pun melalui urutan-urutan upacara yang ketat. Setelah tikus berhasil ditangkap dan dibunuh, masing-masing ekor tikus itu dipotong untuk diupacarai. Sarana upacaranya pun sama dengan sarana upacara yang dipakai pada ngaben manusia. Bade untuk ngaben tikus dibuat bertumpang tujuh. Dalam ngaben manusia, bade bertumpang tujuh biasa dipakai oleh orang yang berkasta tri wangsa (brahmana, ksatria, waisya). Tapi itulah kreatifitas para petani di Tabanan. Ngaben tidak digelar di kuburan, tetapi di pantai karena laut dianggap sebagai sumber hama yang menyerang tanaman petani. Setelah upacara pembakaran selesai dilanjutkan dengan upacara nganyut (membuang abu) ke laut yang dipuput oleh Ida Pedanda (orang suci Hindu).
Nangluk Mrana
Ngaben tikus merupakan salah satu jenis upacara Nangluk Mrana yang digelar pada waktu-waktu tertentu oleh para petani di Bali. Ngaben tikus telah ada berabad-abad lalu ketika Bali masih mengalami jaman kerajaan. Pada saat itu raja beserta rakyatnya bersatu padu menggelar ngaben tikus yang bertujuan untuk mengusir dan membasmi hama tikus yang menyerang sawah petani.
Ngaben tikus merupakan salah satu jenis upacara Nangluk Mrana yang digelar pada waktu-waktu tertentu oleh para petani di Bali. Ngaben tikus telah ada berabad-abad lalu ketika Bali masih mengalami jaman kerajaan. Pada saat itu raja beserta rakyatnya bersatu padu menggelar ngaben tikus yang bertujuan untuk mengusir dan membasmi hama tikus yang menyerang sawah petani.
Ngaben tikus adalah warisan kebudayaan agraris yang pernah ada di Bali, dan bertahan terus hingga sekarang. Kebudayan agraris di Bali bersumber pada alam pikiran mistis dimana animisme, dinamisme dan budaya Hindu bercampur baur melahirkan ritual-ritual, kesenian, tata sosial, tata nilai, dan unsur-unsur budaya lainnya. Ngaben tikus masih dapat disaksikan pada waktu-waktu tertentu di daerah-daerah yang kebudayaan agrarisnya masih kuat, seperti di Tabanan dan Badung.
Dalam buku Upacara Nangluk Mrana, Tjokorda Raka Krisnu menguraikan bahwa Nangluk Mrana berasal dari kata bahasa Bali yang kemungkinan juga mendapat pengaruh bahasa sansekerta. “Nangluk” berarti empangan, tanggul, pagar, atau penghalang; dan “mrana” berarti hama atau bala penyakit. Mrana adalah istilah yang umum dipakai untuk menyebut jenis-jenis penyakit yang merusak tanaman. Bentuknya bisa berupa serangga, binatang maupun dalam bentuk gangguan keseimbangan kosmis yang berdampak merusak tanaman. Jadi “nangluk mrana” berarti mencegah atau menghalangi hama (penyakit), atau ritual penolak bala.
“Upacara Nangluk Mrana merupakan upacara permohonan kepada Tuhan agar berkenan menangkal atau mengendalikan gangguan-gangguan yang dapat membawa kehancuran atau penyakit pada tanaman, hewan maupun manusia sehingga tidak membahayakan lagi,” jelas Raka Krisnu dalam bukunya itu.
Dalam lontar “Perembon Indik Ngaben Tikus” sekilas dijelaskan bila tikus telah menjadi hama ganas yang menyerang sawah petani, maka sebaiknya dilakukan upacara seperti mengupacarai orang mati biasa. Dan upacara hendaknya dilakukan di tepi pantai dengan cara dibakar. Namun dalam lontar itu tidak dijelaskan secara rinci jenis upakara atau bebanten maupun tata cara pelaksanaannya.
Pendeta (pemimpin upacara), pemerintah atau penguasa negara beserta dengan aparat bawahannya juga ikut bertanggung jawab terhadap hama yang menyerang sawah petani. Tata cara upacaranya seperti mengupacarai orang mati biasa dan hendaknya tempat upacara di tepi pantai dengan cara dibakar. Hal ini dijelaskan sekilas dalam lontar “Sila Gama Catur Pataka.” Malah dalam lontar “Yama Tattwa” disebutkan bahwa waktu yang paling tepat untuk melaksanakan ngaben tikus adalah pada saat gugusan bintang di langit membentuk rasi tikus.
Hampir semua lontar yang sekilas menjelaskan ngaben tikus menyebut pantai (laut) sebagai tempat yang paling baik untuk menggelar upacara pengabenan tikus itu. Menurut kepercayaan orang Bali, segala penyakit dan hama bersumber dari laut selatan yang dikuasai oleh Dewa Laut, Sang Hyang Baruna. Dari laut selatan itulah segala hama penyakit disebarkan oleh Ratu Gde Mecaling (Penguasa Kegelapan) yang beristana di Nusa Penida. Bahkan Pura Masceti yang terletak di pinggir pantai di Gianyar dianggap sebagai pura yang menguasai tikus. Para petani wajib datang ke Pura Masceti memohon agar terhindarkan dari wabah tikus yang menyerang tanaman padi mereka.
Waktu yang paling baik untuk menggelar upacara Nangluk Mrana adalah sasih keenam (Desember), sasih kepitu (Januari), sasih keulu (Pebruari), sasih kesanga (Maret) yang menurut keyakinan orang Bali merupakan bulan-bulan rawan yang penuh marabahaya. Menurut kepercayaan yang tumbuh subur di pesisir selatan Bali, pada bulan-bulan keramat itu, seperti yang telah disebutkan di atas, Penguasa Nusa Penida, Ratu Gde Mecaling sedang gencar-gencarnya menyebarkan wabah dan penyakit ke Bali daratan. Dan pada bulan-bulan rawan itu biasanya berbagai jenis wabah penyakit merajalela. Untuk menetralkan kembali keseimbangan kosmis yang terganggu maka digelarlah berbagai jenis ritual penolak bala, salah satunya adalah ritual Nangluk Mrana.
Namun sejak tahun 1980-an ngaben tikus mulai jarang digelar. Para investor mulai menanamkan modalnya di Bali. Lahan-lahan subur petani perlahan berubah menjadi lahan kering. Subak, sistem pengairan di Bali, banyak yang mampet karena pembuatan jalan-jalan raya beraspal yang membelah persawahan. Para petani pun terpaksa menjual sawahnya yang susah mendapatkan air kepada investor. Lalu muncullah orang kaya baru di Bali. Dan yang tragis, kebudayaan agraris yang berpuluh-puluh abad dijaga dengan keindahan tradisi oleh para petani menjadi krisis dan terkikis. Anak-anak petani tidak mau lagi pergi ke sawah untuk menggarap sawah warisan leluhur. Mereka lebih memilih bekerja di kantoran, hotel, restauran, dan bisnis dengan keahlian yang tanggung.
Terkikisnya kebudayaan agraris berdampak pada ritual-ritual pendukung kebudayaan tersebut. Upacara untuk Dewi Sri sebagai simbol tanaman padi mulai jarang digelar. Tumpek bubuh yang jatuh setiap 210 hari sekali yang merupakan ungkapan rasa syukur para petani karena dianugrahi lahan yang subur beserta tanamannya juga jarang dilakukan. Dan ngaben tikus yang merupakan upacara Nangluk Mrana untuk mengusir dan mencegah hama tikus juga jarang digelar.
Mitos Nangluk Mrana
Mitos memang tidak dapat dilepaskan dari alam pikiran mistis manusia Bali. Ada beberapa mitos yang berkaitan dengan upacara Nangluk Mrana. Namun mitos yang paling populer yang berkembang pada masyarakat Bali yang menganut kebudayaan agraris adalah kisah I Gudug Basur dan I Bawi Srenggi.
Dalam mitos tersebut dikisahkan bahwa I Gudug Basur dan I Bawi Srenggi bersahabat baik. Keduanya sama-sama sakti, lahir dari Dewa yang dikutuk hidup di dunia karena suatu kesalahan. Suatu hari mereka mendengar kabar angin tentang kecantikan Bhatari Sri. Kabar angin tersebut membangkitkan minat kedua sahabat itu untuk sama-sama ingin memiliki Bhatari Sri. Namun mereka belum pernah bertemu dan mengenal siapa Bhatari Sri. Dikisahkan Bhatari Sri telah mempunyai suami bernama Bhatara Rambut Sedana.
I Gudug Basur dan I Bawi Srenggi sepakat untuk perang tanding mengadu kesaktiannya. Siapa yang menang maka dialah yang berhak nantinya memiliki Bhatari Sri. Karena sama-sama sakti maka dalam perang tanding itu tidak ada yang menang dan yang kalah. Kemudian mereka membuat kesepakatan baru untuk sama-sama mencari Bhatari Sri dengan arah perjalanan yang berbeda.
Dalam perjalanan dengan arah yang berbeda itu, I Gudug Basur berhasil menjumpai Bhatari Sri lebih awal dan segera ingin merebutnya dari Bhetara Rambut Sedana. I Gudug Basur menantang Bhatara Rambut Sedana perang tanding memperebutkan Bhatari Sri. Dalam perang tanding yang seru tersebut I Gudug Basur berhasil dibunuh dengan cara menenggelamkannya ke dasar laut. Namun sebelum mati I Gudug Basur bersumpah bahwa ia belum puas sebelum berhasil bersatu dengan Bhatari Sri, dia akan terus memburu Bhatari Sri. Maka setelah I Gudug Basur mati jasadnya berubah menjadi garam, ikan laut dan segala isi laut. Garam dan ikan laut suatu saat akan berhasil bertemu dengan Bhatari Sri yang merupakan simbol padi (nasi) dalam satu piring. Dari sinilah muncul kepercayaan orang Bali agar jangan sekali-kali membuang-buang nasi karena nasi adalah merta atau sumber kehidupan.
I Bawi Srenggi yang berjalan berlawanan arah dengan I Gudug Basur juga berhasil menemui Bhatari Sri yang telah mengubah wujud menjadi tanaman padi untuk menipu pandangan musuhnya. I Bawi Srenggi mengubah wujudnya menjadi babi dan merusak tanaman padi di sawah. Babi jelmaan itu berhasil dibunuh dengan bambu runcing yang terbuat dari bambu kuning. Sebelum mati I Bawi Srenggi juga melontarkan sumpah bahwa dia belum merasa tenang sebelum berhasil bersatu dengan Bhatari Sri. Kemudian bagian-bagian tubuh I Bawi Srenggi berubah menjadi berbagai jenis mrana atau hama, yang selalu akan menggangu tanaman padi petani di sawah. Darahnya menjadi candang api (penyakit tanaman padi berupa ulat-ulat kecil yang menyebabkan pucuk-pucuk padi kering), nafasnya menjadi candang aus (sejenis hama yang menyerang tanaman padi), kukunya menjadi gehep (juga hama yang menyerang padi), ekornya menjadi tikus, bulunya menjadi balang sangit, kulitya menjadi kubal (ulat kecil yang menyebabkan daun padi keputih-putihan), hidungnya menjadi balang sengkot (sejenis serangga hama padi), dan keringatnya menjadi garam.
Segala jenis hama yang lahir dari jasad I Bawi Srenggi ditanggulangi dengan menggelar upacara nangluk mrana. Dan tikus yang lahir dari penjelmaan ekor I Bawi Srenggi mendapat perhatian khusus dalam kebudayaan agraris di Bali. Tikus menurut kepercayaan orang Bali adalah jenis hewan yang mempunyai sifat negatif sangat kuat karena sebagai hama dan pengganggu rumah terutama isi dapur dan barang-barang yang disukai tikus untuk dikerat. Karena mempunyai kekuatan negatif yang merusak, orang Bali lebih hati-hati memperlakukan tikus.
Menurut kepercayaan orang Bali, tikus yang menyerang tanaman padi di sawah atau isi lumbung di rumah tidak boleh dicaci maki dengan kasar. Semakin tikus dicaci maki semakin merajalela mereka. Kalau kebetulan anda bertamu ke rumah orang Bali di pedesaan dan anda melihat tuan rumah berbicara begini: “Jro Ketut pergilah kamu dari rumah ini. Jangan mengganggu lagi!” Anda jangan mengira tuan rumah sedang mengusir manusia. Si tuan rumah sedang meminta dengan sangat hormat pada si tikus pergi dari rumahnya agar jangan menggangu lagi. Tikus mendapat sebutan istimewa dari orang Bali, yaitu: Jro Ketut. Orang Bali meyakini kalau tikus diusir dengan cara halus seperti itu kemungkinan besar (kalau tikusnya tidak bebal) akan dengan sukarela pergi dari rumah dan tidak mengganggu lagi.
Begitulah, setelah cara berpikir rasional tidak mampu menyelesaikan masalah yang menimpa manusia, maka cara berpikir irasional (mistis) pun kembali mendapat perhatian. Dan alam pikiran mistis pun ada benarnya. Terbukti setelah tikus tidak mempan dibasmi dengan bahan-bahan kimia atau racun tikus, maka ritual ngaben tikus kembali mendapat tempat di hati petani
0 komentar:
Posting Komentar