Senin, 22 Agustus 2011

Pelajaran yang berharga dari sebuah JAM

Posted by Wayan Parwata 12.50, under | No comments


Seorang pembuat jam berkata kepada jam yang sedang dibuatnya. “Hai jam, sanggupkah kamu berdetak 31.104.000 kali selama setahun?” “Ha?! Sebanyak itukah?!” kata jam terperanjat, “Aku tidak akan sanggup!”
“Ya sudah, bagaimana kalau 86.400 kali saja dalam sehari?”
“Delapan puluh ribu empat ratus kali?! Dengan jarum yang ramping seperti ini?! Tidak, sepertinya aku tidak sanggup,” jawab jam penuh keraguan.
“Baik, bagaimana jika 3.600 kali dalam satu jam?”
“Dalam satu jam berdetak 3.600 kali? Tampaknya masih terlalu banyak bagiku.” Jam bertambah ragu dengan kemampuannya.
Dengan penuh kesabaran, tukang jam itu kembali berkata, “Baiklah kalau begitu, sebagai penawaran terakhir, sanggupkah kamu berdetak satu kali setiap detik?”
“Jika berdetak satu kali setiap detik, aku pasti sanggup!” Kata jam dengan penuh antusias. Maka, setelah selesai dibuat, jam itu berdetak satu kali setiap detik.
Tanpa terasa, detik demi detik terus berlalu dan jam itu sungguh luar biasa karena ternyata selama satu tahun penuh dia telah berdetak tanpa henti. Dan itu berarti ia telah berdetak sebanyak 31.104.000 kali dalam setahun, yang juga setara dengan berdetak 86.400 kali dalam sehari, yang setara pula dengan berdetak 3.600 kali dalam satu jam.
Pesan dari kisah tersebut:
Kita sering meragukan dan underestimated terhadap kemampuan diri sendiri untuk mencapai goal, pekerjaan, dan cita-cita yang tampak sangat besar. Kita lantas menggangapnya sebagai hal sangat berat yang tidak mungkin dapat kita angkat. Namun sebenarnya apabila hal yang dianggap besar tersebut kita perkecil dan perkecil lagi, lantas kemudian kita realisasikan hal-hal kecil tersebut secara konsisten serta kontinu, niscaya hal besar yang semula kita anggap tidak mungkin tercapai itu akan terealisasikan.
Intinya, hal besar akan tercapai dengan konsistensi dan kontinuitas

Rabu, 17 Agustus 2011

NGABEN MASSAL.. di Banjar Tohpati

Posted by Wayan Parwata 22.32, under | 1 comment

RABU (17/8) lalu, ribuan warga Banjar Tohpati, Desa Kesiman Kertalangu tumpah ruah memadati setra (kuburan) desa setempat. Jalan-jalan di seputaran Tohpati pun terpaksa buka tutup. Hal ini disebabkan oleh  pelaksanaan upacara ngaben massal yang digelar Banjar Tohpati..

Ngaben massal kini sepertinya menjadi semacam trend di kalangan orang Bali. Walaupun, kemunculan tradisi ini sesungguhnya tidak bisa dibilang baru. Dulu, raja-raja atau keluarga puri kerap menggelar ngaben bersama melibatkan masyarakat pendukung Puri. Namanya ngaben ngiring. Biaya upacara biasanya ditanggung pihak puri, sedangkan warga yang ikut hanya ngayah menyelesaikan sarana upakara. atau, warga yang ikut dikenai biaya yang cukup murah.

Namun, tak sedikit juga yang enggan mendapat label ngiring.
Banyak warga yang kemudian menggelar ngaben massal dengan dikoordinir banjar atau soroh (klan) tanpa peran sentral dari pihak puri atau griya.

Dari segi biaya, ngaben massal memang jauh lebih hemat. Biaya sekali ngaben yang biasanya sekitar Rp 60 jutaan bisa dihemat menjadi hanya sekitar Rp 15 juta-Rp 20 juta.
Selain hemat biaya, Ngaben massal juga menjadi momentum untuk membangun kembali kebersamaan dan kegotong-royongan di kalangan krama desa adat. Dalam ngaben massal, seluruh warga melebur menjadi satu.

Mengutip pernyataan Dekan Fakultas Brahma Widhya Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, Prof. Dr. I Made Titib menyatakan pelaksanaan upacara ngaben dan nyekah massal memang patut terus ditradisikan. Menurut Titib, pola massal sangat membantu warga yang tidak mampu. “Paradigma bahwa meyadnya harus besar itu mesti diubah karena itu hanya akan membebani umat,” kata Titib.

Hal senada diungkapkan Ketua Sabha Walaka PHDI Pusat, Drs. I Ketut Wiana, M.Ag. Menurutnya, beragama jangan sampai menjadi beban. Dalam teks-teks agama Hindu pun, beragama mestilah dilakonkan dengan kesederhanaan dan kebersahajaan.



Selasa, 16 Agustus 2011

"MEGERET PANDAN" Tradisi Unik dari Desa Tengenan

Posted by Wayan Parwata 16.13, under | No comments

Desa Baliaga Tenganan Pageringsingan sudah lama menjadi ikon pariwisata Karangasem, bagaikan magnet, Tenganan sudah menyedot jutaan wisatawan selama ini yang datang khusus karena terpesona dengan peradaban masyarakatnya yang menganut aliran Indra. Salah satu daya tarik desa Tenganan adalah digelarnya Aci Perang Pandan terkait pelaksanaan upacara Usabha Sambah di Pura Puseh setempat. Jro Mangku Widia dalam suatu kesempatan menyebut, tanggal 15 Juni 2011 adalah puncak digelarnya atraksi perang pandan yang merupakan simbol prajurit kesatria dewa Indra ketika bertempur melawan menundukkan keangkaramurkaan Maya Danawa, sekaligus menggambarkan mitos sebagai wujud rasa bakti pada leluhur yang ditandai luka tetesan darah ketika megeret pandan.

Megeret pandan adalah merupakan permainan perangperangan menggunakan perisai dari anyaman ate berbentuk bulat dan daun pandan berduri tajam yang dipegang dan dijadikan senjata untuk melukai lawan. Bagi krama Teruna setempat merupakan ritual wajib untuk megeret pandan sebagai simbol menunjukkan jiwa kesatria dan kejantanan sebagai pewaris dan penerus trah wangsa wong baliaga Tenganan Pageringsingan. Prosesi geret pandan sendiri digelar setelah dilakukan prosesi upacara di Pura Puseh yang berangkai dilakukan sebelum dan sesudah atraksi geret pandan digelar sebagai puncak upacara Usabha Sambah. Usabha Sambah sendiri adalah merupakan salah satu bentuk upacara rutin tahunan yang dilaksanakan setiap sasih kelima menurut versi perhitungan sasih di desa setempat. 

Sejarah desa Tenganan Pegringsingan menurut V.E Korn, R. Goris W.Weck, yang meneliti budaya setempat, menyebut. ditemukan adanya suatu peninggalan yang menunjukkan kekunoan ditandai peninggalan zaman megalitikum di desa Tenganan Pageringsingan. Sementara Jero Mangku Widia mengatakan, bahwa prasasti yang ada di desa Tenganan Pagringsingan yang memuat asal-usul sejarah terjadinya desa tersebut sudah tidak ada, oleh karena pada tahun 1841 atau tahun 1763 (içaka) di desa tersebut mengalami musibah kebakaran. Namun demikian adanya beberapa duplikat yang mengatakan bahwa Desa Tenganan membawahi wilayah hingga Candidasa yang berada di pinggir laut sebelah selatan desa dan sebelah timur desa berbatasan dengan sebuah batu besar sebagai tonggak batas wilayah dengan Dusun Samuh ditimurnya.

Menurut uraian buku cerita Usana Bali penduduk desa Tenganan disebutkan merupakan keturunan penduduk Bali yang berasal dari Desa Peneges di sebuah Kerajaan Bali yang bernama Bedahulu, dengan rajanya Mayadenawa yang bertahta di Desa Bedahulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar. Dalam pemerintahannya Raja Mayadenawa terkenal sebagai seorang raja yang sakti. Namun dengan sifatnya yang angkara murka, sombong, dan tidak mengakui adanya Tuhan. Selama pemerintahannya kepada rakyat Bedahulu (Peneges) dilarang untuk melakukan persembahyangan (Ngaturang Aci) kepada para Dewata, sehingga selama masa pemerintahannya, masyarakat tidak diperkenankan melaksanakan upacara agama untuk menyembah Dewata. Adanya kenyataan ini, menyebabkan para Dewa marah diutuslah Betara Indra turun ke dunia guna memerangi Raja Mayadenawa. Dalam pertempuran tersebut Raja Mayadenawa mengalami kekalahan. Untuk menghormati jasa kemenangan Betara Indra ini, oleh Beliau memerintahkan kembali seluruh rakyat Bedahulu untuk aktif kembali melakukan upakara/upacara agama termasuk meliputi melakukan atraksi geret pandan.

Menurut sejarah, Yadnya yang dilakukan tersebut disebut Aswameda Yadnya dengan mengorbankan seekor kuda yang disebut Oncesrawa sebagai caru. Akan tetapi sebelum upacara tersebut berlangsung tiba-tiba Kuda Oncesrawa menghilang dari istana. Untuk mencari jejak kuda tersebut, kemudian diperintahkan oleh Betara Indra orang-orang dari Desa Peneges untuk mencari kuda tersebut. Dalam pencarian itu mereka membagi diri menjadi dua kelompok, yaitu kelompok pertama bertugas mencari ke arah barat laut dan kelompok ini tidak berhasil menemukannya, dan kini dikenal sebagai penduduk Kabupaten Buleleng, sedangkan kelompok yang lain bertugas mencari kebagian arah timur laut. Pada kelompok ini berhasil menemukan kuda itu di lereng bukit sebelah timur Desa Tenganan Pegringsingan sekarang, tetapi sudah dalam keadaan mati. Pada daerah tempat kuda itu ditemukan, kini dikenal dengan sebutan Batu Jaran.

Daya tarik lain dari desa Tenganan adalah kai geringsing yang memiliki mitos dibuat dengan darah manusia namun kini sudah diganti dengan getah kayu sunti yang hanya ada di nusa penida. Dalam proses pembuatannya adalah proses yang sangat rumit dengan teknik double ikat yang memakan waktu cukup lama serta dengan bahan-bahan dasar dan bahan pewarnaanya berasal dari alamiah. Kain gringsing juga banyak diperlukan orang lain, karena dapat digunakan untuk keperluan upacara adat dan agama, mode show dan sebagainya. Menurut pandangan orang Tenganan bahwa kain gringsing mengandung nilai magis. Hal ini dikatakan demikian karena kata gringsing berasal dari dua kata, yaitu gring yang berarti ‘sakit’ atau ‘penyakit’ dan sing yang berarti ‘tidak’ atau ‘menolak’. Dari kedua akar kata tersebut yaitu kata gering dan sing bila disatukan akan menajdi kata gringsing yang berarti ‘tidak sakit atau menolak penyakit’ yang dapat diperkirakan akan dapat terhindar dari segala penyakit. 

Penghormatan kepada Betara Indra oleh masyarakat setempat dibuatkan suatu pemujaan khusus dari tumpukan batu dalam bentuk bangunan suci yaitu di Pura Batan Celagi. Selain itu ada juga upacara yang disebut sangkepan kilap (pertemuan dengan petir) yang diadakan pada sasih (bulan) kenem dam kepitu (Juli dan Agustus) menurut perhitungan dan adat setempat. Dalam rapat (sangkepan) tersebut disertai dengan memanggil-manggil petir dengan kata Kaki Kilap. Disamping itu, juga suatu kegiatan dalam pelaksanaan upacara ngaben (muhun) memakai sarana air, sehingga hal ini dapat disimpulkan air dan petir ada hubungannya dengan Dewa Indra atau Dewa Indra adalah yang menguasai air dan petir.

GEBUG ENDE, Tradisi Unik Turunkan Hujan

Posted by Wayan Parwata 16.03, under | No comments

Saat musim kemarau panjang dan penduduk Desa Seraya kerap menggelar gebug, atraksi ini tak cuma dilakukan antarpenduduk Seraya. Warga keturunan Sasak (Lombok) yang telah lama menetap di Seraya, juga kerap ikut nimbrung. Kegesitan pemain gebug asal Lombok (disebut batur, artinya teman asal Lombok) saat beradu dengan warga Seraya juga diakui keandalannya.

Di Seraya selain tarian gebug itu dijadikan perantara memohon hujan, juga kerap ditarian saat menyambut tamu. Tarian gebug juga kerap dipentaskan saat ada upacara perayaan, seperti 17 Agustusan. Bahkan, tiap penyelenggaraan PKB di Bali, tari gebug Seraya kerap tampil dalam parade di depan undangan, sebagai ciri khas kontingen Karangasem.

Kesenian gebug saat Bupati Karangasem masih dijabat AA Gede Karangasem, adu gebug juga kerap digelar pada pesta rakyat yang biasanya digelar di lapangan Candrabuana. Saat itu, adu gebug menjadi tontonan favorit masyarakat Karangasem. Biasanya, tim gebug Seraya beradu dengan gebug Timbrah. Cuma suatu ketika, terjadi persaingan sengit atau kurang sehat antara kedua belah pihak. Sempat terjadi salah paham antarkedua tim, sampai kemudian Bupati Karangasem turun tangan mendamaikan. Sejak itulah, diperkirakan adu gebug itu mulai dikurangi dengan menghadapkan dua tim berbeda desa. Bahkan belakangan, tak ada lagi pesta rakyat dalam rangka peringatan HUT RI dengan menampilkan kesenian atau hiburan rakyat berupa gebug ende.

Gebug ende tak cuma menjadi ciri khas Seraya. Gebug ini juga berkembang di Lombok.Kesenian itu bahkan sudah menjadi kesenian rakyat. Tiap ada hajatan, upacara adat semacam selamatan, kerap ditampilkan gebug sebagai hiburan rakyat. Karena itu, gebug pun berkembang dengan baik dan tak mengkhawatirkan bakal punah. Kesenian, tari atau pun olah raga rakyat itu bakal diperkirakan terus berkembang. Tak ada yang berani memastikan apakah gebug di Lombok itu dibawa orang Karangasem khususnya warga Seraya ke Lombok ataukah sebaliknya. Namun, diperkirakan gebug di Lombok berkembang karena dibawa warga Karangasem ke Lombok pada zaman dulu. Soalnya, berdasarkan sejarah, hubungan antara masyarakat Karangasem dan suku Sasak atau warga Lombok sejak dulu sangat erat. Hal itu terjalin sejak zaman kerajaan.

Menelusuri awal mulanya Gebug Ende tesebut memang cukup menarik. Dari turun temurun gebug ende merupakan suatu kebanggaan bagi masyarakat Seraya. Mengenai asal mula dari tarian tradisional khas Seraya ini yang diceritakan secara turun temurun. Awal mulanya kemunculan permainan gebug ende itu diperkirakan merupakan bentuk pelestarian dari latihan perang-perangan prajurit Kerajaan Karangasem zaman dulu. Sampai kini, atihan bertarung itu masih dijadikan semacam peringatan, sehingga tetap lestari.



Pada jaman dahulu latihan perang prajurit kerajaan sebenarnya menggunakan senjata tajam, seperti pedang, tombak atau keris. Kini dalam pertarungan saat memainkan gebug ende tersebut sebagai simbol senjata tajam menggunakan tongkat yang terbuat dari rotan sebagai pelengkap menggunakan tameng yang terbuat dari kulit.

Pada zaman kerajaan, masyarakat Desa Seraya merupakan salah satu kanti (prajurit andalan) kerajaan. Prajurit inti dikenal berasal dari Seraya, yang berjumlah 40 (bala petangdasa). Selain masyarakat Seraya dijadikan salah satu kanti Kerajaan Karangasem, juga dari Bugbug dan Angantelu. Orang Desa Seraya dikenal karena kebal sajam, Bugbug karena ahli pengobatan, sementara Angantelu karena sifat pemberaninya. Barangkali, masyarakat di ketiga desa tua itu zaman dulu diberikan anugerah dengan kelebihan untuk mengemban tugas masing-masing.

Pada saat sangkepan (rapat) desa diadakan tes pemilihan calon prajurit kerajaan . Saat itu warga lelaki dewasa dari rumah menuju tempat sangkep, masing-masing telah menjepit duri pandan di kedua ketiak, yang nantinya saat mendekati tempat sangkepan, petugas jaga akan menarik daun pandan yang ada pada ketiak peserta. Kalau daun pandan lepas ditarik dan tubuh penjepit tak luka ditusuk duri, berarti mereka lolos seleksi dan bisa ikut sangkepan. Dari sangkep itulah dites lagi untuk memilih 40 prajurit inti kerajaan. Adapun tempat melakukan tes kekebalan calon prajurit kerajaan dengan sebuah palinggih-nya, kini masih ada di Desa Seraya.

Dari cerita para leluhur dikatakan saat sangkepan, krama membelah buah pinang untuk makan sirih (macanangan, bahasa Bali) dengan pedang, belakas atau tah, bukan di atas bantalan kayu (talenan). Namun, langsung di atas paha. Pinangpun terbelah dengan salah satu senjata tajam itu, namun paha tidak luka karena senjata tajam itu.

Sajam yang digunakan untuk berperang pada zaman dulu pun harus melewati tes terlebih dahulu. Kalau ditancapkan ke bebatuan tak tumpul atau kalau ditusukkan ke gedek (dulu dinding rumah cuma terbuat dari gedek berbahan potongan bambu) dan segala binatang yang ada tengah berada di dinding gedek, seperti tikus, cecak atau kalajengking gedek itu mati, barulah sajam itu lolos seleksi untuk dibawa berperang.

Sampai kini beberapa keturunan prajurit 40 masih ada yang memiliki warisan kebal sajam secara turun-temurun. Namun, kalau warga Seraya menginginkan bantuan agar dilindungi dari goresan sajam saat menghadapi bahaya, juga bisa dengan mengikuti tata cara tertentu, seperti yang diwariskan leluhur.
Dikutip dari harian Bali Post edisi

Sabtu, 13 Agustus 2011

Lomba Layang-Layang Bali ke-33 di Pantai Padang Galak - Sanur

Posted by Wayan Parwata 11.28, under | No comments

Ribuan warga masyarakat menyaksikan Lomba Layang-Layang Bali ke-33 di kawasan wisata Pantai Padanggalak, Sanur, Kota Denpasar, Minggu.

Sejak pagi hari warga masyarakat pencinta layangan, sudah memadati areal lomba tahunan tersebut. Bahkan sepanjang jalan menuju lokasi lomba penuh sesak, baik oleh warga yang membawa layang-layang maupun yang akan menyaksikan perlombaan tersebut.

Lomba Layang-Layang yang telah dimulai sejak Jumat (29/7) dan berakhir Minggu sore (31/7) itu, mempertandingkan layangan jenis Janggan dan kreasi.

"Hampir semua layangan yang disertakan dalam lomba untuk mendukung kunjungan wisatawan ini berukuran raksasa," katanya.

Sekitar 1.080 layang-layang dari "sekaa" (kelompok) warga banjar atau dusun di berbagai daerah di Bali, diikutsertakan dalam lomba tersebut.

"Layangan yang dipertandingkan dalam lomba ini dibagi dalam dua kategori, yaitu jenis tradisional dan kreasi," ujarnya.

Layangan jenis tradisional antara lain jenis janggan, pecukan dan bebean serta kategori layangan kreasi ada yang berbentuk kendaraan, kuda terbang, binatang kaki seribu dan lainnya.

Untuk  bisa menerbangkan satu buah layang-layang ukuran raksasa ini diperlukan belasan hingga puluhan orang. Semua peserta dari setiap kelompok harus bekerja sama agar layangan mereka bisa terbang dengan baik selama lomba.

Karena  banyaknya layang-layang yang diterbangkan, maka suasana udara di kawasan Pantai Sanur tersebut tampak berwarna-warni.

Para peserta dengan bekerja sama dalam kelompok tersebut menarik tali layangan itu agar layangan bisa terbang.

informasi : lowongan kerja survey online










Jumat, 12 Agustus 2011

Pura Penataran Dalem Ped, Semburkan Atmosfir Kekuatan Ratu Gede Nusa

Posted by Wayan Parwata 23.22, under | No comments

Di sebuah desa, persisnya di Desa Ped, Sampalan, Nusa Penida, ada sebuah pura yang sangat terkenal di seluruh pelosok Bali. Pura Penataran Agung Ped nama tempat suci itu. Berada sekitar 50 meter sebelah selatan bibir pantai lautan Selat Nusa. Karena pengaruhnya yang sangat luas yakni seluruh pelosok Bali, Pura Penataran Agung Ped disepakati sebagai Pura Kahyangan Jagat. Pura ini selalu dipadati pemedek untuk memohon keselamatan, kesejahteraan, kerahayuan, dan ketenangan. Hingga saat ini, pura ini sangat terkenal sebagai salah satu objek wisata spiritual yang paling diminati.

Pada awalnya, informasi tentang keberadaan Pura Pentaran Agung Ped sangat simpang-siur. Sumber-sumber informasi tentang sejarah pura itu sangat minim, sehingga menimbulkan perdebatan yang lama. Kelompok (Puri Klungkung, Puri Gelgel dan Mangku Rumodja -- Mangku Lingsir) menyebutkan pura itu bernama Pura Pentaran Ped. Yang lainnya, khususnya para balian di Bali, menyebut Pura Dalem Ped.

Seorang penekun spiritual dan penulis buku asal Desa Satra, Klungkung, Dewa Ketut Soma dalam tulisannya tentang Selayang Pandang Pura Ped beranggapan bahwa kedua sebutan dari dua versi yang berbeda itu benar adanya. Menurutnya, yang dimaksudkan adalah Pura Dalem Penataran Ped. Hanya, satu pihak menonjolkan penatarannya. Satu pihak lainnya lebih menonjolkan dalemnya.

Selain itu, beberapa petunjuk yang menyebutkan pura itu pada awalnya bernama Pura Dalem. Dalam buku Sejarah Nusa dan Sejarah Pura Dalem Ped yang ditulis Drs. Wayan Putera Prata menyebutkan Pura Dalem Ped awalnya bernama Pura Dalem Nusa. Penggantian nama itu dilakukan tokoh Puri Klungkung pada zaman I Dewa Agung. Penggantian nama itu setelah Ida Pedanda Abiansemal bersama pepatih dan pengikutnya secara beriringan (mapeed) datang ke Nusa dengan maksud menyaksikan langsung kebenaran informasi atas keberadaan tiga tapel yang sakti di Pura Dalem Nusa.

Saking saktinya, tapel-tapel itu bahkan mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit, baik yang diderita manusia maupun tumbuh-tumbuhan. Sebelumnya, Ida Pedanda Abiansemal juga sempat kehilangan tiga buah tapel. Ternyata, begitu menyaksikan tiga tapel yang ada di Pura Dalem Nusa itu adalah tiga tapel yang sempat menghilang dari kediamannya. Namun, Ida Pedanda tidak mengambil kembali tapel-tapel itu dengan catatan warga Nusa menjaga dengan baik dan secara terus-menerus melakukan upacara-upacara sebagaimana mestinya.

Kesaktian tiga tapel itu bukan saja masuk ke telinga Ida Pedanda, tetapi ke seluruh pelosok Bali. Termasuk, warga Subak Sampalan yang saat itu menghadapi serangan hama tanaman seperti tikus, walang sangit dan lainnya. Ketika mendengar kesaktian tiga tapel itu, seorang klian subak diutus untuk menyaksikan tapel tersebut di Pura Dalem Nusa.

Sesampainya di sana, klian subak memohon anugerah agar Subak Sampalan terhindar dari berbagai penyakit yang menyerang tanaman mereka. Permohonan itu terkabul. Tak lama berselang, penyakit tanaman itu pergi jauh dari Subak Sampalan. Hingga akhirnya warga subak bisa menikmati hasil tanaman seperti padi, palawija dan lainnya.

Sesuai kaulnya, warga kemudian menggelar upacara mapeed. Langkah itu diikuti subak-subak lain di sekitar Sampalan. Kabar tentang pelaksanaan upacara mapeed itu terdengar hingga seluruh pelosok Nusa. Sejak saat itulah I Dewa Agung Klungkung mengganti nama Pura Dalem Nusa dengan Pura Dalem Peed (Ped).
Meski demikian, hal itu seolah-olah terbantahkan. Karena seorang tokoh masyarakat Desa Ped, Wayan Sukasta, secara tegas menyatakan bahwa nama sebenarnya dari pura tersebut adalah Pura Penataran Agung Ped. Terbukti dari kepercayaan warga-warga sekitar saat ini. Walaupun ada yang menyebutkan pura itu dengan sebutan Pura Dalem, yang dimaksud bukanlah Pura Dalem yang merupakan bagian dari Tri Kahyangan (Puseh, Dalem dan Bale Agung). Melainkan Dalem untuk sebutan Raja yang berkuasa di Nusa Penida pada zaman itu. Dalem atau Raja dimaksud adalah penguasa sakti Ratu Gede Nusa atau Ratu Gede Mecaling, katanya.

Ada lima lokasi pura yang bersatu pada areal Pura Penataran Agung Ped. Pura Segara, sebagai tempat berstananya Batara Baruna, terletak pada bagian paling utara dekat dengan bibir pantai lautan Selat Nusa. Beberapa meter mengarah ke selatan ada Pura Taman dengan kolam mengitari pelinggih yang ada di dalamnya. Pura ini berfungsi sebagai tempat penyucian.

Mengarah ke baratnya lagi, ada Pura utama yakni Penataran Ratu Gede Mecaling sebagai simbol kesaktian penguasa Nusa pada zamannya. Di sebelah timurnya ada lagi pelebaan Ratu Mas. Terakhir di jaba tengah ada Bale Agung yang merupakan linggih Batara-batara pada waktu ngusaba.

Masing-masing pura dilengkapi pelinggih, bale perantenan dan bangunan-bangunan lain sesuai fungsi pura masing-masing. Selain itu, di posisi jaba ada sebuah wantilan yang sudah berbentuk bangunan balai banjar model daerah Badung yang biasa dipergunakan untuk pertunjukan kesenian.

Seluruh bangunan yang ada di Pura Penataran Agung Ped sudah mengalami perbaikan atau pemugaran. Kecuali benda-benda yang dikeramatkan. Contohnya, dua arca yakni Arca Ratu Gede Mecaling yang ada di Pura Ratu Gede dan Arca Ratu Mas yang ada di Pelebaan Ratu Mas. Kedua arca itu tidak ada yang berani menyentuhnya. Begitu juga bangunan-bangunan keramat lainnya. Kalaupun ada upaya untuk memperbaiki, hal itu dilakukan dengan membuat bangunan serupa di sebelah bangunan yang dikeramatkan tersebut.

Adanya perbaikan-perbaikan yang secara terus-menerus itu, membuat hampir seluruh bangunan yang ada di Pura Penataran Agung Ped terbentuk dengan plesteran-plesteran permanen dari semen dan kapur. Termasuk asagan yang lazimnya terbuat dari bambu yang bersifat darurat, tetapi dibuat permanen dengan plesteran semen. Paling tidak, hal itu telah memunculkan kesan kaku bagi pura yang diempon 18 desa pakraman tersebut. Pengemponnya mulai Desa Kutampi ke barat. Adanya sejumlah bangunan-bangunan pura yang dikeramatkan, berdampak pada lingkungan pura. Atmosfer keramat diyakini sudah tercipta sejak awal keberadaan pura tersebut.

Source : HDnet


NGEREBONG, Tradisi unik hanya ada di Pura Petilan Kesiman

Posted by Wayan Parwata 11.07, under | 1 comment

Pura Petilan di Desa Kesiman di bagian timur Kota Denpasar lebih populer disebut Pura Pengerebongan. Mengapa nama Pura Petilan itu lebih terkenal dengan nama Pengerebongan. Hal ini disebabkan oleh adanya upacara Pengerebongan yang umumnya lebih menonjol kegiatannya daripada upacara keagamaan Hindu lainnya yang dilakukan di Pura Petilan tersebut. Filosofi apa yang sebenarnya yang ada di balik upacara Pengerebongan itu? Bagaimana relevansinya dengan kehidupan sekarang?

Pengerebongan ini dilangsungkan sangat meriah karena melibatkan banyak pihak. Di samping itu, upacara Pengerebongan ini dipandang sangat unik oleh masyarakat umum utamanya di Kota Denpasar umumnya dan di daerah Kesiman khususnya. Upacara ini dilangsungkan pada dina Redite Pon Medangsia, delapan hari setelah hari raya Kuningan.  

Sesungguhnya upacara Pengerebongan merupakan salah satu dari rangkaian upacara pujawali di Pura Dalem Kesiman yang dilangsungkan pada hari Wreshaspati Wage wuku Sungsang yang bertepatan dengan hari Sugian Jawa. Pura Dalem Kesiman ini bukan bagian dari Pura Kahyangan Tiga. Pura Dalem Kesiman ini adalah pura tempat pemujaan keluarga Kerajaan Kesiman.  

Istilah ''Dalem'' dalam hal ini artinya Raja. Meskipun pemujaan kerajaan, masyarakat luas di wilayah kerajaan pun pada zaman dahulu umumnya selalu diikutsertakan dalam prosesi upacara di tempat pemujaan keluarga kerajaan

Setelah upacara pujawali di Pura Dalem Kesiman ini barulah dilakukan upacara pangaci di Pura Petilan. Rangkaian upacara di Pura Petilan itu dimulai pada hari Umanis Galungan, upacara tersebut antara lain upacara Panyekeban, Nyanjan, Pemendakan, Nuwur, Mider Bhuwana, Mider Gita (marerentengan). Nanda (Nyapu Jagat) Mawayang-wayang/Malanang-lanang, Maberata. Sebagai penutup upacara Panyimpenan/Pemendakan, atau Tubuh Agung. Semua rangkaian upacara tersebut diikuti oleh semua Prasanak Pura Petilan

Pada hari Soma Paing Wuku Langkir dilangsungkan upacara Pemendakan di Pura Petilan. Seminggu kemudian barulang dilangsungkan upacara yang terkenal dengan upacara Pengerebongan. Umumnya umat Hindu terutama di daerah Kesiman, upacara Pengerebongan ini sangat ditunggu-tunggu. Umat dapat menikmati upacara ini dari aspek ritual dan spiritualnya, seni budayanya dan juga kemeriahan aspek sosial psikologisnya.  

Menurut buku hasil penelitian Sejarah Pura yang dilakukan oleh IHD Denpasar tahun 1979 (sekarang Unhi), upacara Pengerebongan itu adalah tergolong upacara bhuta yadnya atau pacaruan. Kata caru dalam buku ''Samhitaswara'' artinya cantik atau harmonis. Sehingga upacara Pengerebongan itu bertujuan untuk mengingatkan umat Hindu melalui media ritual sakral untuk memelihara keharmonisan hubungan antarmanusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan sesama umat manusia  dan dengan alam lingkungannya

Prosesi upacara Pengerebongan dilakukan pada hari Redite Pon Medangsia sejak pagi kurang lebih pukul 09.00 waktu setempat dilakukan upacara tabuh rah dengan tiga pasang adu ayam. Tujuannya untuk membangkitkan guna rajah untuk di-somia atau diharmoniskan agar patuh dengan arahan guna sattwam. Dengan demikian guna rajah menjadi bersifat positif memberi semangat untuk kuat menghadapi berbagai gejolak kehidupan.  
Selanjutnya para manca dan prasanak pengerob Pura Petilan di Kesiman dengan pelawatan berupa Barong dan Rangda semuanya diusung ke Pura Petilan untuk mengikuti upacara Pengerebongan. Sebelum ke Pura Petilan didahului dengan upacara penyucian di Pura Musen di sebelah timur Pura Petilan di pinggir barat Sungai Ayung. Selanjutnya setelah kembali ke pura barulah upacara Pengerebongan dimulai.  

Diawali dengan upacara Nyanjan dan Nuwur. Tujuan upacara ini untuk memohon kekuatan suci Batara-batari agar turun melalui pradasar-nya dari para umat dari para manca dan prasanak pangerob. Umum para pengusung rangsa dan pepatihnya setelah dilakukan upacara Nyanjan dan Nuwur itu dalam keadaan trance atau di Bali disebut kerauhan.  

Selanjutnya semua pelawatan Barong dan Rangda serta para pepatih yang trance itu keluar dari Kori Agung terus mengelilingi wantilan dengan cara prasawia tiga kali. Mengelilingi dengan cara prasawia itu adalah para pelawatan Barong Rangda dan pepatihnya bergerak dari timur ke utara, ke barat, ke selatan dan kembali ke timur. Terus demikian sampai tiga putaran.  
Saat melakukan prasawia itu, para pepatih melakukan ngunying atau yang dipakai ngurek itu keris tajam yang sungguhan, dada para pepatih itu sedikit pun terluka. Kalau sudah acara prasawia ini selesai semuanya kembali ke Gedong Agung dengan upacara Pengeluwuran. Mereka yang trance kembali seperti semula
Setelah upacara Pengeluwuran itu maka dilanjutkan dengan upacara Maider Bhuwana Batara-batari para Manca dan Prasanak Pangerob dengan semua pengiringnya kembali mengelilingi wantilan tiga kali dengan cara Pradaksina. Mengelilingi dengan cara Pradaksina berlawanan dengan cara Prasawia tadi. Selanjuntnya upacara mengelilingi wantilan dengan cara Pradaksina dimulai dari arah timur menuju selatan terus ke barat menuju utara dan kembali ke timur. Pradaksina ini dilakukan tiga kali sebagai simbol pendakian hidup dari Bhur Loka menuju Bhuwah Loka dan yang tertinggi menuju Swah Loka yaitu alam kedewatan. Karena itulah upacara ini disebut upacara Maider Bhuwana mengelilingi alam semesta. Setelah selesai mengelilingi wantilan dengan Pradaksina semuanya kembali ke Jeroan Pura

Adanya prosesi Prasawia dan Pradaksina dalam upacara Pengerebongan di Pura Petilan Kesiman ini sangat menarik untuk dipahami makna filosofinya. Prosesi Prasawia bermakna untuk meredam aspek Asuri Sampad atau kecenderungan keraksaan, sedangkan Pradaksina sebagai simbol untuk menguatkan Dewi Sampad yaitu kecenderungan sifat-sifat kedewaan. Kalau kecenderungan keraksasaan (Asuri Sampad) berada di bawah kekuasaan Dewi Sampad maka manusia akan menampilkan perilaku yang baik dan benar dalam kehidupan kesehariannya.  

Upaya menguatkan Dewi Sampad menguasai Asuri Sampad sering dilupakan orang. Karena itu, upacara Pengerebongan ini dilangsungkan setiap enam bulan wuku setiap Redite Pon Wuku Medangsia -- delapan hari setelah hari raya Kuningan.
sumber :  
I Ketut Wiana, http://www.balipost.co.id/BALIPOSTCETAK/2006/5/17/bd1.htm
informasi : Lowongan Kerja Survey Online

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...